Inspirasi
Selasa, 07 April 2015
merdeka.com
Inspirasi: Mencari Berkah: Salah satu cara memperbaiki akhlak generasi muda adalah mendidik mereka lewat pendidikan islam (MTs Al-Ma'arif Pandan Indah) regu nyan...
Inspirasi: Manfaat Mengkudu
Inspirasi: Manfaat Mengkudu: Manfaat Dan Khasiat Mengkudu Mengkudu atau yg dikenal dengan buah pace dibalik rasanya yg Legit dan baunya yg kurang sedap ternyata sa...
Inspirasi: Kisah cinta
Inspirasi: Kisah cinta: LAILA MAJNUN Tentu kita sudah pernah mendengar maupun membaca kisah ini sebelumnya,Kisah ini begitu terkenal pada zamannya sampai seka...
Inspirasi: Kisah cinta
Inspirasi: Kisah cinta: LAILA MAJNUN Tentu kita sudah pernah mendengar maupun membaca kisah ini sebelumnya,Kisah ini begitu terkenal pada zamannya sampai seka...
Inspirasi: Mitos Suku Sasak Tentang Gerhana Bulan
Inspirasi: Mitos Suku Sasak Tentang Gerhana Bulan: Gerhana bulan adalah salah satu peristiwa alam yang langka dan jarang ditemukan,bagaimana pandangan suku sasak tentang gerhana bulan tersebu...
Mitos Suku Sasak Tentang Gerhana Bulan
Gerhana bulan adalah salah satu peristiwa alam yang langka dan jarang ditemukan,bagaimana pandangan suku sasak tentang gerhana bulan tersebut
Adalah suku sasak yang merupakan salah satu suku di pulau lombok Nusa Tenggara Barat mempunyai mitos atau ritual-ritual ketika terjadi atau melihat peristiwa alam yang langka ini
Berikut adalah beberapa ritual atau kepercayaan suku sasak mengenai gerhana bulan :
1. Memukul Kentongan
Memukul kentongan atau benda - benda lain adalah merupakan kebiasaan yang turun temurun dilakukan oleh suku sasak ketika melihat peristiwa ini,hal ini dipercaya bisa mempercepat dimuntahkanya bulan oleh matahari,karena menurut kepercayaan mereka gerhana bulan ini terjadi karena matahari telah menelan bulan sehingga cahaya bulan pun habis termakan oleh matahari,umpama nya ketiaka ular atau binatang-binatang buas meemangsa sesuata ketika mendengar suara gaduh binatang tersebut akan ketakuatan dan dengan segera melepas mangsanya,alasan inilah yang membuat mereka ramai-ramai memukul kentongan,bahkan tak jarang warga yang kepercayaannya sudah melekat terkadang menangis karena kasihan melihat bulan mereka di telan oleh matahari,tetapi sesungguhnya pilosofi yang bisa kita ambil dari pemukulan kentongan ini adalah,sesungguhnya mereka sedang memberitahukan kepada warga yang lain bahwa malam itu ada gerhana bulan.
2. Memakai minyak wangi dan mandi malam
Memakai minyak wangi dan mandi malam juga kerap dilakukan oleh suku sasak ketika ada kejadian gerhana bulan,menurut mereka gerhana bulan ini merupakan pertanda alam yang bisa mendatangkan masalah atau sering mendatangkan musibah penyakit,sehingga dengan berminyak wangi dan mandi di dukun dipercaya bisa menghindari diri dari musibah penyakit dan lain-lain.
3. Menaruh besi dibawah tungku
Besi mentah yang kemudian di produksi menjadi benda pusaka seperti keris dan lain lain yang sudah di taruh dibawah tungku(jangkis bahasa sasak ) tempat memasak dan menanak nasi dan dibiarkan sampai terjadi gempa barulah kemudian diangkat lalu barulah dibawa ketukang buat pusaka dipercaya mempunyai kekuatan gaib sehingga ketika kejadian gerhana bulan tersebut suku sasak ramai-ramai menaruh besi mentah untuk kemudian dijadikan keris pusaka,so percaya atau tidak fakta ini memang sampai sekarang masih turun temurun dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di suku sasak,tetapi apapun itu kekuasaan yang maha kuasa lah yang paling benar dan pasti
Adalah suku sasak yang merupakan salah satu suku di pulau lombok Nusa Tenggara Barat mempunyai mitos atau ritual-ritual ketika terjadi atau melihat peristiwa alam yang langka ini
Berikut adalah beberapa ritual atau kepercayaan suku sasak mengenai gerhana bulan :
1. Memukul Kentongan
Memukul kentongan atau benda - benda lain adalah merupakan kebiasaan yang turun temurun dilakukan oleh suku sasak ketika melihat peristiwa ini,hal ini dipercaya bisa mempercepat dimuntahkanya bulan oleh matahari,karena menurut kepercayaan mereka gerhana bulan ini terjadi karena matahari telah menelan bulan sehingga cahaya bulan pun habis termakan oleh matahari,umpama nya ketiaka ular atau binatang-binatang buas meemangsa sesuata ketika mendengar suara gaduh binatang tersebut akan ketakuatan dan dengan segera melepas mangsanya,alasan inilah yang membuat mereka ramai-ramai memukul kentongan,bahkan tak jarang warga yang kepercayaannya sudah melekat terkadang menangis karena kasihan melihat bulan mereka di telan oleh matahari,tetapi sesungguhnya pilosofi yang bisa kita ambil dari pemukulan kentongan ini adalah,sesungguhnya mereka sedang memberitahukan kepada warga yang lain bahwa malam itu ada gerhana bulan.
2. Memakai minyak wangi dan mandi malam
Memakai minyak wangi dan mandi malam juga kerap dilakukan oleh suku sasak ketika ada kejadian gerhana bulan,menurut mereka gerhana bulan ini merupakan pertanda alam yang bisa mendatangkan masalah atau sering mendatangkan musibah penyakit,sehingga dengan berminyak wangi dan mandi di dukun dipercaya bisa menghindari diri dari musibah penyakit dan lain-lain.
3. Menaruh besi dibawah tungku
Besi mentah yang kemudian di produksi menjadi benda pusaka seperti keris dan lain lain yang sudah di taruh dibawah tungku(jangkis bahasa sasak ) tempat memasak dan menanak nasi dan dibiarkan sampai terjadi gempa barulah kemudian diangkat lalu barulah dibawa ketukang buat pusaka dipercaya mempunyai kekuatan gaib sehingga ketika kejadian gerhana bulan tersebut suku sasak ramai-ramai menaruh besi mentah untuk kemudian dijadikan keris pusaka,so percaya atau tidak fakta ini memang sampai sekarang masih turun temurun dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di suku sasak,tetapi apapun itu kekuasaan yang maha kuasa lah yang paling benar dan pasti
Selasa, 31 Maret 2015
Kisah cinta
LAILA
MAJNUN
Tentu kita sudah pernah mendengar maupun membaca kisah ini sebelumnya,Kisah ini begitu terkenal pada zamannya sampai sekarang ini, ratusan tahun lamanya sebelum kisah “Romeo & Juliet” oleh Wiliam Shakespeare yang di agung-agungkan didunia barat.
Tentu kita sudah pernah mendengar maupun membaca kisah ini sebelumnya,Kisah ini begitu terkenal pada zamannya sampai sekarang ini, ratusan tahun lamanya sebelum kisah “Romeo & Juliet” oleh Wiliam Shakespeare yang di agung-agungkan didunia barat.
Alkisah, seorang
kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiliki segala macam yang diinginkan
orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa
itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil.
Ketika semua usaha
tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di
hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah
kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah
mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”
Mereka pun bersujud
kepada ALLAH, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka.
“Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami
merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami
tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan
kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”
Tak lama kemudian,
doa mereka dikabulkan, dan ALLAH menganugerahi mereka seorang anak laki-laki
yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh
semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat
perhatian dan kekaguman.
Sejak awal, Qais
telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat
luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah
syair dan melukis.
Ketika sudah cukup
umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang
indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya
beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan
keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.
Di antara mereka ada
seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah,
yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena
alasan inilah mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua
belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana
lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang
masih sangat muda, yakni sembilan tahun.
Laila dan Qais
adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling
tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan
ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah
bukan lagi tempat belajar.
Kini, sekolah
menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka
saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru
saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau
kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.
Mereka buta dan tuli
pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta
mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah
pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti
mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik
tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak
sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.
Ketika Laila tidak
ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan
sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan
memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di
jalan-jalan.
Kisah Cinta
Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”
Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”
Akhirnya, Qais
dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan
mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan
berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang
tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan
bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun.
Majnun menemukan sebuah
tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk
dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan
gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa
itu.
Ia berbicara kepada
air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai
itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan
meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.
Ia menghirup angin
dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat
yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya,
mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba
saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal
dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan
berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila
demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya
kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya,
tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat
kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga
anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh
penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad membantunya untuk
berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka
dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah
mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke
pintu kamarnya.
Majnun masuk ke
kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk
sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup
mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau
angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia
mendengar suara Qais didalamnya.
Ia akan mengambil
dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya
itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun,
bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.
Pada hari ketika
Majnun masuk ke rumah Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia
mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas
tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak
hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut
surmeh.
Bibirnya diberi yang
seperti lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta
menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu. Ketika Majnun
masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang,
ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi.
Majnun berdiri di
pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila. Akhirnya,
mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak jantung
kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.
Salah seorang wanita
pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan
putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun,
ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh
pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi mereka
mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar
dimatanya menceritakan segala sesuatunya.
Sesudah terjadi
peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di
rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila,
bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa,
dengan bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu
sama lain, sungguh ia salah besar.
Ketika ayah Majnun
tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu
dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan
hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat
baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan
anak-anak mereka.
Ayah Majnun lebih
dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting
bagi kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”.
Anak lelakiku
mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi
mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan.
Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais.
Aku percaya
kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila.
“Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan
anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang
pengemis.
Ia pasti sudah lama
tidak mandi dan iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak.
“Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam
posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”
Ayah Qais tak dapat
membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan
utama bagi awan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling cerdas dan
berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya.
Bahkan, sang ayahnya
sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah lama orang tidak mendengar ucapan
bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan diam berpangku tangan dan melihat anakku
menghancurkan dirinya sendiri,” pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”
Ketika ayah Majnun
kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam untuk
menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik
di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa mengalihkan perhatian Majnun
dari Laila, pikir ayahnya.
Di pesta itu, Majnun
diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan
sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai
kesamaan dengan yang dimiliki Laila. Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama
dengan milik Laila; yang lainnya punya rambut panjang seperti Laila, dan yang
lainnya lagi punya senyum mirip Laila.
Namun, tak ada
seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya, Malahan, tak ada seorang
pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah kepedihan
perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta
menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha mengelabuinya.
Dengan berurai air
mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar
dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh ke
lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan
agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa
Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.
Di Makkah, untuk
menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah, tetapi apa yang ia
mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang
menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja,”Tinggikanlah
cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku
tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan
untuk anaknya.
Usai menunaikan
ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya,
pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke
gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah
bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya.
Sesudah itu, tak ada
seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap
sahabat dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil
menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh
binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.
Suatu hari, seorang
musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk
di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga
ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal.
Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia
mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di kakinya.
“Hus” katanya,
‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah
kejauhan. Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin
tahu apa yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia
pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam
perilaku anehnya dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab.
Tampaknya, Majnun
tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang
buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat
baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan
liar dan buas itu.
Berbagai macam
binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak
akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas seperti serigala
sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang musafir itu
mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada Laila.
Mereka berbagi
sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan
melanjutkan petjalanannya. Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya
pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu.
Ia mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya.
Merasa sangat gembira dan bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke
gurun sahara untuk menjemputnya.
Ketika melihat
reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam
oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab
dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar Engkau
menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang ayah
menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat
persembunyiannya.
Dengan bersimpuh
dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai ayah, ampunilah aku atas segala
kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah
mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan ayah. Ini
sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta.” Ayah dan anak pun
saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.
Keluarga Laila
menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya.
Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga.
Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila
diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling
kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.
kesedihan
Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.
Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.
Karena Majnun sangat
terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka
hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama
dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah
dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.
Sebagian orang
merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya.
Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya
kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria
gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya
menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu
di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.
Drama kisah tragis
itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad
melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun
ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya! Kaetika Amar kembali
ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan ini berangkat
menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang
terbunuh atau terluka.
Ketika pasukan ‘Amar
hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amar,
“Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan
menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak
keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan
minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.
Majnun mendengar
pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi
ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang
yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan
melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.
Amar pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amar sama sekali tidak bisa memahami hal ini.
Amar pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amar sama sekali tidak bisa memahami hal ini.
Apa yang dikatakan
ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan
pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan
sepatah kata pun kepada Majnun.
Laila semakin merana
dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah
berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman,
Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta
jatuh cinta kepadanya.
Tanpa menunda-nunda
lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena
pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah
Laila pun menyetujui perkawinan itu. Tentu saja, Laila menolak keras. Ia
mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang
itu.”
Akan tetapi,
tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi
sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua
Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.
Akan tetapi, Laila
menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak
akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang
waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita
yang bisa membuatmu bahagia.”
Sekalipun mendengar
kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya
beberapa waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak
mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar tentang
perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama
berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu
biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan
kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di
sekelilinginya pun turut bersedih.
Namun, kesedihannya
ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan
ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus
tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah
menjadi semakin lebih dalam lagi.
Dengan penuh
ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya:
“Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu
hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau
telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada
seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan
memanggil-manggil namamu, Laila”.
Sebagai jawabannya,
Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional.
Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa
melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu
menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia,
sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu
yang ada di sekelilingmu” .
“Kini, aku harus
menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang
lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta,
engkau ataukah aku?.
Tahun demi tahun
berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di
reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di
siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di
malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada
berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis
syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.
Selang beberapa
lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan
ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik
dan mengganggunya. Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak
pernah berhasil mendekatinya.
Kendatipun ia hidup
bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu
membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut
kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak
menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua
orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia
tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila.
Tak sepatah kata pun
pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun
dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam
jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan
lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia.
Kematian suaminya
tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia
berkabung atas kematian Ibn Salam, padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya,
Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya. Selama bertahun-tahun, ia
menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis.
Laila
Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Sementara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama bermalam-malam.
Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Sementara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama bermalam-malam.
Bagaimana ia bisa
memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun
semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama.
Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun
menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih
memikirkan Majnun.
Ah, kalau saja ia
bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka
matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar
bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam
perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya
tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam,
Majnun…Majnun. .Majnun.
Kabar tentang
kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita
kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh
pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama
beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa
Laila.
Nyaris tidak sanggup
berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa
henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota . Ia berkabung dikuburannya
selama beberapa hari.
Ketika tidak
ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia
meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan
tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum
sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat
menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan
Laila.
Beberapa teman
sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih
segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua
kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.
Diambil dari Negeri
Sufi ( Tales from The Land of Sufis )
Syekh mawlana hakim nizhami
Langganan:
Postingan (Atom)